ALIANSI MAHASISWA PAPUA KOMITE KOTA KENDARI SULAWESI TENGGARA
ALIANSI MAHASISWA PAPUA KOMITE KOTA KENDARI SULAWESI TENGGARA
![]() |
| Gambar. panflet Aliansi mati dokrasi |
Negara dengan polisi dan tentaranya, hukum dan penjaranya, peradilan dan beragam institusi kekerasannya telah menjadi pelaku utama dalam setiap kasus kejahatan kemanusiaan. Negara melanggar Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948, yang berisi 18 poin pernyataan umum tentang HAM: (1) hak hidup; (2) hak kemerdekaan dan keamanan; (3) hak diakui kepribadian; (4) hak diperlakukan sama di hadapan hukum; (5) hak mendapat suaka saat keluar-masuk sebuah negara; (6) hak mempunyai kebangsaan; (7) hak diakui hak milik atas benda; (8) hak bebas menyampaikan pikiran dan perasaan; (9) hak dijamin berkepercayaan; (10) hak diberi ruang dalam mengutarakan pendapat dan berkumpul; (11) hak memperoleh jaminan sosial; (12) diberi jaminan pekerjaan; (13) hak untuk mata-pencaharian; (14) hak mendapatkan pendidikan; (15) hak mempunyai akses kesehatan; (16) hak beroleh jaminan-jaminan sosial-ekonomi; (17) hak untuk mengembangkan kebudayaan; dan (18) hak menikmati kesenian dan memajukan ilmu-pengetahuan.
Kedelapan belas poin di atas tersebut dilanggar oleh negara secara sewenang-wenang, dengan pelbagai muslihat dan dominasi. Kekerasan dalam pelbagai bentuknya ditebarkan agar hak-hak asasi dapat dimonopoli. Ketidakadilan terkait hak asasi kemudian merebak begitu rupa. Kelas penguasa menganggap HAM hanya untuk kelas mereka saja, bukan untuk diberikan kepada semua; terutama dikaburkan bagi rakyat miskin, kaum perempuan, bangsa tertindas, dan kelas pekerja.
Sudah bukan rahasia lagi ketika kita berbicara persoalan ham dan demokrasi di papua yang terjadi sejak tahun 60an hingga hari ini. sudah banyak data dan fakta yang dimuat oleh media-media lokal, nasional maupun internasional juga dalam data-data yang dibuat oleh lsm, gereja, maupun organisasi gerakan perjuangan yang ada.
Kasus yang terjadi dalam beberpa waktu dekat ini saja seperti kasus penembakan almh.Tobias Silak dan kasus mutilasi yang dilakukan anggota TNI terhadap 4 masyarakat sipil di timika, seorang ibu di intan jaya, penembakan terhadap 2 pemuda di Merauke, Kerusuhan di wamena yang memakan 17 korban luka dan 11 korban meninggal, pembubaran paksa aksi-aksi demonstrasi damai, penangkapan aktivis, serta pengungsian di beberapa daerah. Ini merupakan situasi objektif yang menggambarkan jelas kondisi HAM dan Demokrasi di papua hari ini. situasi-situasi ini juga tidak terlepas dari masalah sejarah kelam dan berdarah-darah rakyat papua.
Sejak 1 mei 1963 ketika administrasi wilayah papua diserahkan olen UNTEA (pemerintahan transisi) kepada indonesia sejak saat itulah masalah demokrasi dan pelanggaran HAM Mulai terjadi dimana hak-hak masyarakat papua tidak lagi diperdulikan ; ruang-ruang demokrasi dibungkam, operasi militer dalam skala besar dan berkelanjutan dilakukan yang kemudian berdampak pada pelanggaran ham berat demi merebut wilayah papua demi kepentingan ekonomi politik tanpa memeperdulikan nasib hak-hak masyarakat papua.
Kepentingan ekonomi politik diatas tanah papua kemudian dibuktikan dengan penendatangan kontrak karya PT Freeport MC Mooran pada 07 april 1967 oleh indonesia dan amerika tanpa melibatkan / menanyakan orang papua. Penandatangan ini juga dapat dikatan ilegal karena orang papua belum menentukan sikapnya melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
Akumulasi kemarahan dan semangat Perjuangan orang papua sebagai sebuah entitas yang berbeda memuncak antara tahun 1996 – 2000an, dimana ruang demokrasi di indonesia mulai terbuka dengan ditumbangkannya rezim otoriter soeharto dan indonesia memasuki era reformasi yang juga berdampak pada terbukanya ruang demokrasi di papua. Berbagai macam aksi protes terhadap pelanggaran HAM dan tuntutan politik kemerdekaan papua dilakukan oleh berbagai macam kelompok baik LSM, Gereja, Gerakan mahasiswa dan masyarakat papua. Gerakan-gerakan perlawanan ini pun melahirkan persatuan rakyat papua yang disebut Presidium Dewan Papua (PDP) yang di pimpin oleh Theys H Eluay dan Tom Beanal dengan 4 resolusi penyelesaian konflik papua.
Indonesia yang memang telah memiliki kepentingan ekonomi atas sumber daya alam dan kekuasaan atas wilayah di papua pun tidak menggubris ke-4 resolusi tersebut dan membunuh Theis Eluay serta memberikan paket kebijakan Otonomi khusus Secara paksa melalui UU no 1 tahun 2001 sebagai alternatif untuk membungkam hak-hak politik dan suara perlawanan rakyat papua.
20 tahun implementasi Otonomi Khusus (OTSUS) di tanah papua tidak ada dampak / perubahan yang signifikan bagi kelangsungan hidup orang asli papua. Sebaliknya malah menimbulkan masalah hampir di seluruh sektor kehidupan rakyat papua baik ekonomi, pendidikan kesehatan, maupun politik serta ham dan demokrasi. Seperti dalam data laporan tahunan (2022) yang dimuat oleh Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP). Bahwa selama tahun 2022 saja terjadi banyak sekali pelanggaran Ham dan pembungkaman ruang demokrasi terhadap aktivis dan rakyat papua seperti terlihat dalam temuan ALDP bahwa terdapat ;
- 22 Kasus penangkapan aktivis papua di beberapa wilayah
- Sepanjang tahun 2022 di tanah Papua terjadi 53 kasus kekerasan-konflik bersenjata antara TNI Pori dan TPNPB Dimana 6 kasus di Papua Barat dan 47 kasus di Papua. Peristiwa ini memakan 175 korban meninggal, luka tembak dan penyiksaan, serta berdampak pada pengungsian ribuan masyarakat di daerah konflik (nduga, puncak papua, intan jaya, yahukimo, pegunungan bintang, puncak jaya, maybrat dan serui).
- 9.205 jumlah keseluruhan pasukan militer yang dikirim ke Papua selama tahun 2022 yang terdiri dari 1.355 Aggota Brimob dan 7. 850 Anggota TNI
- Data kasus perdagangan (jual-beli) senjata api dan amunisi tahun 2022 sebanyak 19 kasus yang terjadi di wamena, jayapura, nabire,puncak jaya dan timika. 25 orang ditangkap dan diproses dalam kasus ini.
Selain data tentang pelanggaran ham yang dimuat ALDP, PBHI juga memuat data tentang represifitas dan kebebasan berekspresi (pembungkaman ruang demokrasi) selama tahun 2022 terhadap aktifis dan masyarakat papua bahwa dari 100% kebebasan baik itu diskusi, aksi, seminar dan kampanye –kampanye politik papua hampir 72 persen dibungkam oleh aparat militer dengan penangkapan, pembubaran paksa, kriminalisasi dengan pasal-pasal karet, teror, stigmatisasi dan bahkan pembunuhan.
Dari sini dapat kita lihat bahwa indeks kekerasan yang bermuara pada pelanggaran HAM dan pembungkaman Ruang Demokrasi di papua masih terus terjadi dan memiliki potensi untuk terus terjadi kedepannya. Mengapa demikian, karena jakarta masih saja terus menggunakan pendekatan MILITER untuk menangani konflik di Papua.
Hal ini juga menunjukkan bahwa 20 tahun otonomi khusus di papua telah Gagal menjadi payung untuk melindungi hak-hak dasar orang asli papua dan sekarang jakarta juga telah mengesahkan UU Otsus Jilid II dengan kebijakan turunannya adalah DOB yang pada realitasnya ditolak oleh mayoritas masyarakat papua namun tetap dipaksakan demi kepentingan investasi mengeruk suberdaya alam papua tanpa memperdulikan nasib masadepan orang asli papua
Pada 1961 berlangsung Operasi Trikora oleh pemerintahan nasionalis Soekarno. Bangsa West Papua mulai digerayangi dengan kekerasan langsung: genderang aneksasi ditabu dengan mengorbankan kehidupan manusia-manusia Papua. Sejak saat itu operasi militer di Papua berlangsung menahun. Di masa pemerintahan Bonapartis Soeharto, pendudukan bahkan dilanjutkan dengan enam tahapan: (1) Operasi Brata Yudha (1966-1968); (2) Operasi Wibawa (1968-1973); (3) Operasi Pamungkas (1969-1973); (4) Operasi Koteka dan Operasi Senyum (1977-1978); (5) Operasi Gagak (1985-1990); dan Operasi Rajawali (1990-1998). Dalam operasi-operasi tersebut tercatat memakan korban hampir 100.000 jiwa. Untuk jumlah yang lebih rinci terdapat pada karya Agus Samule tentang "Mencari Jalan Tengah Otsus Provinsi Papua"--data korban pelanggaran HAM TNI-Polri: 1997, telah terbunuh 126 orang di Asologaiman dan 148 warga juga ditemukan tewas di Wasi, lalu 1979 sebanyak 201 penduduk dibunuh lagi di Kelila Jayawijaya, dan sepanjang 1980-1985 ada 13 lelaki dihilangkan paksa dan 80 perempuan diperkosa di pelbagai wilayah Papua.
Di sisi kekerasan reaksioner terhadap perempuan dan laki-laki bangsa West Papua, sepanjang 1965-1966 berlangsung genosida terhadap buruh dan tani. Dari Aceh sampai NTT, sawah dan pabrik-pabrik disisir oleh gerombolan tentara. Dengan menampilkan atraksi senjata maka dicabutlah nyawa-nyawa warga-pekerja secara massal. Geoffrey Robinson mengabadikan tragedi dalam "Musim Menjagal": sebanyak 78.500-3 juta orang terbunuh secara brutal. Dalam banalitas kejahatan yang menanggalkan nyawa manusia ini juga ditampilkan parodi kekerasan seksual: perempuan ditelanjangi, digerayangi, hingga disetubuhi berkali-kali. Negara, hukum dan berbagai institusi kekerasannya, persis kata Lenin: menyelubungi 'mata rantai imperialis'. Negara berusaha menyelubungi kepentingan apa yang berada di belakang Omnibus Law, Otsus, Proyek Pembangunan Nasional, hingga program Transmigrasi ke Tanah Papua. Berkait hubungan antara proyek pembangunan dan penindasan nasional terhadap Bangsa West Papua, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menjelaskannya:
"Proyek Strategis Nasional (PSN) merupakan kebijakan politik sejak rezim Jokowi berkuasa dan kemudian sekarang dilanjutkan oleh rezim Prabowo-Gibran. Tujuan dicanangkan PSN adalah untuk membangun industri-industri strategis dan juga membangun infrastruktur-infrastruktur bernilai investasi tinggi yang dikelola oleh negara bersama dengan oligarki. Dasar hukumnya Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Sejak 2016 hingga 2024 PSN tercatat sudah 195 proyek yang sudah terealisasi dengan nilai sebesar RP 1.519 triliun."
"Beberapa proyek sudah diwacanakan dan juga yang sudah direalisasikan di Papua. Proyek-proyeknya bergerak di beberapa sektor seperti, pertama, migas, Proyek Tangguh Train 3 LNG Bintuni. Kedua, pembangunan infrastruktur untuk memperlancar aktivitas transportasi pengangkutan komoditas ekspor hasil dari eksploitasi alam Papua, pembangunan pelabuhan serta bandara di Nabire dan Sorong. Ketiga, pembangunan kawasan ekonomi khusus atau kawasan industri dengan luas lahan sebesar 523,7 ha tanpa persetujuan dari masyarakat adat Moi sebagai pemilik ulayat. Keempat, pengembangan pangan dan energi dengan luas lahan seluas 2 juta ha atau sama dengan 63 kali Kota Surabaya. Kelima, program ini berupa cetak sawah 1 juta ha dan perkebunan tebu sebagai bahan baku produksi bioetanol seluas 1 juta ha."
"Selain PSN ada juga pembangunan blok-blok kawasan industri ekstraktif seperti Blok Weiland yang memiliki cadangan emas di Mapiha, Kabupaten Dogiyai, Blok Warim yang memiliki cadangan minyak sebesar 25,968 miliar barel dan cadangan gas sebesar 47,37 triliun kaki kubik. Cadangan ini diperkirakan oleh Kementerian ESDM akan dua kali lipa lebih besar dari Blok Masela di Ambon. Blok Warim berlokasi di Kabupaten Mimika. Kemudian, Blok Wabu memiliki cadangan emas sebesar 8,1 juta ton emas dengan keuntungan penjualan diperkirakan bisa mencapai Rp2.217 triliun. Selanjutnya, Blok Bobara berada di wilayah Kaimana-Fakfak dengan luas area 8.444 km2. Blok ini memiliki cadangan minyak dan gas bumi sebesar 6,8 miliar barel."
Mata-rantai penindasan ekonomi semuanya berusaha ditutupi oleh seluruh alat kekerasan Negara. Birokrasi, polisi dan tentara reguler memperlihatkan keculasan dan kebrutalan di mana-mana. Di manapun kita menghadapkan wajah, niscaya melihat kekejian mereka. Para birokrat tambun melancarkan korupsi yang begitu rupa. Mengeluarkan aturan dan kebijakan yang merampas hak-hak massa-rakyat. Sementara TNI-Polri dikerahkan untuk membungkam, memerkosa, membunuh dan membantai massa-rakyat. Di Hari HAM Internasional ke-76 ini kami mengutuk segala kekerasan reaksioner itu dan menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Hentikan jebakan transmigrasi ke tanah Papua.
2. Cabut Otonomi Khusus serta hentikan pembentukan Daerah Otonomi Baru di Papua.
3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua.
4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua.
5. Segera tangkap, pecat dan adili pelaku penembakan Almarhum Tobias Silak di Yahukimo.
6. Mengecam dan mengutuk keras tindakan teror, ,penganiayaan yang di lakukan oleh oknum tak bertanggung jawab kepada mahasiswa papua di wilayah kampus
Segera usut tuntas kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap Ibu Tarina Murib.
7. Hentikan proyek strategis nasional berupa cetak sawah dan penanaman tebu di Kab. Merauke yang merampas tanah adat Rakyat Papua di wilayah Merauke.
6. Bebaskan seluruh tahanan politik West Papua tanpa syarat.
8. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu, Blok Weiland, Blok Warim, Blok Bobara, dan KEK di Sorong.
9. Hentikan pembangunan 4 kodam tambahan, 4 polda dan pengiriman 5 batalion penyangga tambahan serta pembangunan berbagai fasilitas militer yang justru menjadi dalang dari kekerasan kemanusiaan di Papua.
10. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal pelanggar HAM.
11. Hentikan rasialisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri
12. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Yahukimo, dan seluruh wilayah West Papua lainnya.
13. Cabut dan tolak Omnibus Law, KUHP, UU ITE, seluruh kebijakan kolonial yang tidak memihak rakyat.
14. Sahkan RUU Masyarakat adat.
15. Mendukung pembebasan bangsa Palestina dari imperialisme Israel.
16. Usut tuntas semua kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia dan Papua; tangkap dan adili Agus dan seluruh pelaku seksisme di NTB dan seluruh daerah.
17. Hentikan Perampasan Lahan di seluruh Indonesia dan West Papua.
18. Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.
Atas nama kaum tertindas dan terhisap, panjang umur perjuangan!
Medan Juang,
Kendari, 10 Desember 2024.
@sorotan

Tidak ada komentar untuk "ALIANSI MAHASISWA PAPUA KOMITE KOTA KENDARI SULAWESI TENGGARA"
Posting Komentar